Apakah Mencaci Adalah Jati Diri Bangsa?

Sumber: ig @magelang_bersyariah


             Sea Games yang sedang berdenyut pada tahun ini dirasakan oleh semua negara di Asia Tenggara. Namun, di Indonesia, kecepatan denyut kemeriahan pesta olahraga ini terasa sangat bergejolak. Pasalnya, bendera putih merah dengan tulisan ‘INDONESIA’ dipaparkan secara jelas di halaman ke 80 pada buku panduan Sea Games 2017. Tentunya hal ini menimbulkan goresan luka pada para pemilik jiwa nasionalisme.
            Bisa dilihat kekecewaan dan luapan kemarahan rakyat Indonesia yang begitu antusias terhadap negara tetangga kita ini. Cacian, makian, dan hinaan menunjukkan rasa kebencian mereka yang besar terhadap negara Malaysia. Namun, apakah hal tersebut merupakan jati diri bangsa yang sebenarnya? Bukankah Indonesia adalah negara yang santun?
            Di sisi lain, cacian dan makian spontan dari masyarakat Indonesia merupakan salah satu bukti kecintaannya pada negara ini. Rasa sakit yang dirasakan ketika tetangga kita menyebarkan hal yang tidak benar terhadap keluarga kita, apakah tidak sama rasanya ketika negara tetangga kita memaparkan bendera kebanggaan negara ini dengan tidak sesuai pada yang seharusnya? Begitulah kira-kira yang dirasakan oleh masyarakat negeri ini.
            Keteledoran yang diciptakan oleh negara tetangga ini tentunya menimbulkan kekecewaan yang membekas pada jiwa-jiwa patriotisme. Bukankah sebuah kekecewaan akan dirasakan jika kita berharap lebih terhadap sesuatu hal, namun realitanya tidak terwujud? Kurang lebih seperti itulah kekecewaan yang terluapkan oleh bangsa ini ketika kita berharap bahwa Malaysia akan membuat pesta ini menjadi semeriah mungkin dan semua orang akan menyambutnya dengan antusias. Namun, Malaysia tidak mewujudkan harapan bangsa ini dengan membuat kesalahan yang begitu fatal. Putih-merah.
            Pada kesempatan ini, tidak sedikit petinggi-petinggi negara maupun orang-orang ternama yang bergelut dalam dunia perpolitikan memanfaatkan situasi ini sebagai tempat unjuk gigi. Dengan menggebu-gebu, mereka seakan mempropaganda masyarakat Indonesia untuk terus melakukan protes dan menebar kebencian. Perlu dipertanyakan, sebenarnya apakah mereka memang merasa bahwa jati dirinya diinjak-injak, atau hanya mencari eksistensi saja supaya dilirik oleh media dan juga masyarakat. ‘Kalau bukan kita, siapa lagi?’. Sebuah kalimat jitu yang mereka gunakan untuk mempersuasif masyarakat.
            Namun bagaimana dengan reaksi para petinggi negara yang seharusnya? Bukankah mereka adalah contoh untuk jutaan nyawa bangsa ini? Seharusnya petinggi-petinggi negara lebih bijak dalam menghadapi situasi yang panas ini. Bukannya menambah bara api ke dalam api yang berkobar, lalu menghembuskan angin supaya api itu kian mengamuk. Tetapi menyiramkan air supaya api yang berkobar itu semakin mengecil, lalu meredam.
                        Permintaan maaf yang dilakukan oleh pihak Malaysia memang sudah seharusnya dan sewajarnya. Menarik kembali buku panduan yang sudah disebarkan dan koran yang  sudah diterbitkan, lalu mengganti kembali hal yang mengganjal pada halaman 80 tersebut. Warna kebangsaan, Merah-Putih.
            Indonesia dikenal sebagai negara yang ramah dan santun. Selain itu masyarakat Indonesia juga adalah orang yang mencintai perdamaian sehingga mudah untuk memaafkan kesalahan orang lain. Cacian dan makian yang awalnya tidak terkontrol dengan baik, setelah adanya permintaan maaf dari pihak Malaysia tersebut, perseteruan ini sudah mulai meredam. Setidaknya, satu buah kayu bakar yang menyala sudah padam. Pada saat itulah seharusnya Indonesia memperlihatkan siapa jati diri mereka yang sebenarnya, memperlapang dada memaafkan kesalahan yang telah dilakukan oleh negara tetangga.
            Gelas yang sudah retak, tidak bisa diperbaiki lagi. Dalam beberapa petandingan cabang olahraga, Indonesia dihadapkan dengan Malaysia. Bukan hanya atlet yang berlaga, tetapi para suporter dari kedua negara ini juga saling memanas. Jika salah satu dari negara menang, suporter dari negara lain mencacinya, dan ketika salah satu negara kalah, suporter dari negara lain mengejeknya. Begitu juga sebaliknya. Hal ini tidak terjadi sekali atau dua kali, tetapi sudah lama dan berkali-kali.
            Tidakkah mereka mengerti bagaimana perjuangan pemuda-pemuda tangguh kedua bangsa ini berjuang mati-matian untuk mengukir prestasi dan ingin mengharumkan nama bangsa mereka? Tidakkah mereka setidaknya melihat usaha dari pemuda-pemuda kebanggaan negara ini? Tidakkah mereka melihat kesungguhan para atlet itu untuk menang tanpa adanya perpecahan? Tidak menutup kemungkinan bahwa hal-hal keji dan kejam yang terjadi tersebut karena masalah utama tadi. Sungguh kejam efek yang diciptakan oleh kesalahan kecil tersebut. Tetapi kita harus ingat, bahwa gelas yang sudah retak itu bisa dihiasi dengan berbagai pernak-pernik agar terlihat lebih indah dari sebelumnya.
            Kesalahan-kesalahan yang kecil dapat menimbulkan efek yang besar. Apakah itu bagi seseorang, ataupun bagi sebuah bangsa. Maka dari itu, hati-hati dan teliti menjadi kunci agar hal-hal tersebut dapat terjadi. Memeriksa dan memastikan suatu hal sebelum diberitahukan kepada orang lain akan lebih bermanfaat untuk kedepannya. Mengantisipasi lebih baik dari pada mengobati.
            Selain itu, sikap sportif dan saling memaafkan merupakan salah satu solusi apabila ada hal-hal yang membuat keretakan atau perpecahan. Jiwa-jiwa masyarakat timur seharusnya tetap diterapkan kapanpun dan dimanapun. Tanamkan pada diri kita sendiri bahwa cara kita menunjukkan diri kepada orang lain adalah representasi dari bangsa kita. 
           
 Syantiaga Sutirta
Share on Google Plus

About Journalist

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 coment�rios :

Posting Komentar