sumber foto: matanews.com
Bertepatan tanggal 1 oktober, kita kembali memperingati hari yang sangat krusial bagi
terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Mungkin
kini banyak yang lupa atau bahkan melupakan hari kesaktian Pancasila, sebab seiring perkembangan
teknologi dan informasi yang semain pesat, kita pun seakan terbius untuk
melupakan sejarah yang sangat penting sebagai wujud terbentuknya dasar negara
kepulauan, Indonesia.
Peringatan Kesaktian Pancasila ini
berakar pada sebuah peristiwa tanggal 30 September 1965. Pasalnya, ini adalah
awal dari Gerakan 30 September (G.30.S/PKI). Oleh
pemerintah Indonesia, pemberontakan ini merupakan wujud usaha mengubah unsur
Pancasila menjadi ideologi komunis.
Pada saat itu setidaknya ada enam orang
Jendral dan berberapa orang lainnya dibunuh sebagai upaya kudeta. Namun, berkat
kesadaran untuk mempertahankan Pancasila maka upaya tersebut mengalami
kegagalan. Maka, tanggal 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan
Gerakan 30 September dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian
Pancasila dalam sejarah Republik Indonesia.
Indonesia
yang telah hidup selama 72 tahun harus terus konsisten berdiri tegak sebagai
sebuah "nation state". Di tengah berbagai tantangan zaman,
Indonesia harus terus survive.
Globalisasi yang ditandai dengan modernisasi dan liberalisasi telah memberikan
penetrasi pada kesatuan negara bangsa.
Indonesia
dapat survive jika memegang teguh dan
menjalankan empat konsensus dasar bernegara. Pancasila adalah salah satu
konsensus dasar bernegara di samping UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan
NKRI.
Pancasila
adalah sebuah ideologi terbaik bagi Indonesia yang mempunyai wajah plural dan
agamis. Apakah Pancasila masih relevan dijadikan pedoman hidup berbangsa dan
bernegara? Era Globalisasi tidak hanya membuat perubahan pola interaksi dan
komunikasi namun juga menciptakan masyarakat dunia maya yang telah membuat
tantangan zaman makin kompleks.
Jika
Pancasila hanya dipasang di ruang-ruang kelas dan menjadi simbol kenegaraan,
tidak akan bermakna apa-apa.
Saat
ini generasi terbagi menjadi enam, yaitu generasi "Silent",
"Baby Boomers", generasi x, y, z, dan milenial. Masing-masing
generasi mempunyai cara pandang yang berbeda. Tentunya tanggung jawab moral
bagi generasi yang memahami Pancasila untuk mentransfer nilai-nilai fundamental
Pancasila kepada generasi penerus (utamanya z dan milenial).
Generasi
ini lebih banyak hidup di dunia maya ketimbang di dunia nyata. Gejala
"bedroom syndrom" (masuk kamar dan menjelajah dunia maya) seolah-olah
berpisah dari kehidupan nyata dan orang tua. Oleh karena itu, tantangan
terbesar Pancasila adalah menginternalisasi nilai-nilainya kepada generasi muda
(z dan milenial) dengan konteks kekinian.
Jika
hal itu dilakukan, konsensus dasar bernegara, khususnya Pancasila, akan relevan
mengatasi tantangan zaman. Ironis ketika melihat generasi muda didorong
kecerdasan kognitifnya ajaran matematika dan "science" secara
terus-menerus di luar jam sekolah dan kursus. Namun, kecerdasan kebangsaannya
tidak diisi.
Jika
motivasi diartikan sebagai pendorong tindakan orang-perorangan, ideologi adalah
pendorong tindakan kolektif sehingga ideologi Pancasila harus menjadi motor
"revolusi mental", yakni perubahan mendasar pola pikir masyarakat dan
pejabat publik di dalam kehidupan berbangsa. Jadi, sasaran "revolusi
mental" adalah perubahan radikal bangsa yang bernilai Pancasila.
Mis Fransiska Dewi
0 coment�rios :
Posting Komentar